Tiga Iklan TV Melanggar Etika Pariwara Indonesia

https://fajarsuriastuti.wordpress.com/2010/12/16/tiga-iklan-tv-melanggar-etika-pariwara-indonesia/


Tiga iklan yang tayang di televisi yaitu iklan Shinyoku “Romy Rafael”, iklan So Nice “So Good”, dan Iklan Betadine Feminim Hygines “Fakta Bicara” oleh Badan Pengawasan Periklanan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) diputuskan melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI). Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Periklanan (BPP) PPPI telah disampaikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia  (KPI) Pusat.
Untuk iklan TV Shinyoku versi Romy Rafael pelanggaran EPI yang ditemukan adalah penayangan pernyataan superlatif di dalam iklan tersebut berupa pernyataan : “paling terang, paling hemat, dan paling kuat.” Pernyataan superlatif di dalam iklan melanggar EPI BAB IIIA No. 1.2.2 yang menyatakan bahwa: ” Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, “top, atau kata-kata berawalan “ter” dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dan otoritas terkait atau sumber yang otentik.”
Pada iklan TV So Nice “So Good”, pelanggaran EPI terjadi pada pernyataan bahwa mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak. Menurut EPI BAB IIIA No. 1.7 menyatakan bahwa: “Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-daasr jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.”
Sedangkan untuk iklan TV Betadine Feminim Hygines “Fakta Bicara”, berpotensi melanggar EPI karena ditayangkan di luar klasifkasi jam tayang dewasa. EPI yang dilanggar adalah BAB IIIA No. 4.3.1, yaitu “produk khusus orang dewasa hanya boleh disiarkan mulai pukul 21.30 hingga 05.00 waktu setempat”, selain itu juga EPI BAB IIIA No. 2.8.2 yang menjelaskan bahwa: “produk-produk yang bersifat intim harus ditayangkan pada waktu penyiaran yang khusus untuk orang dewasa.”
KPI Pusat juga mengingatkan kepada para pembuat iklan dan televisi bahwa dalam Pasal 49 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS) KPI Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa iklan wajib berpedoman kepada EPI.
DEPOK, KOMPAS – Banyak produk iklan yang kini beredar di masyarakat melanggar etika bisnis. Hal ini disebabkan iklan, yang pada hakikatnya bersifat manusiawi dan berfungsi sebagai media pemberi informasi dan representasi, dimanfaatkan secara berlebihan demi tujuan bisnis semata.
Demikian salah satu kesimpulan yang dikemukakan Thomas Noach Peea dalam siding ujian isertasinya, “Etika Bisnis Periklanan di Indonesia Saat Ini dalam Perspektif Pemikiran Kritis” di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Kamis (6/3). “Telah terjadi pergeseran nilai iklan yang manusiawi menjadi alat kepentingan yang tak wajar, yang didukung ideologi dan kemajuan teknologi,” kata Peea di hadapan tim penguji yang dipimpin Prof Dr Rahayu Surtiati Hidayat
Menurut Peea, demi kepentingan mencari pangsa pasar, tak jarang iklan berubah menjadi media disinformasi, manipulasi, dan dominasi, yang mengandung bias serta cenderung memberikan emahaman yang keliru mengenai produk yang sebenarnya. Mahasiswa Program S-3 Ilmu Filsafat, yang dibimbing guru besar filsafat Prof Dr Soerjanto oespowardojo, itumengatakan, fenomena ini telah menyebabkan munculnya kejahatan kolektif secara simbolik (symbolic collective crime), yang terjadi karena sikap masyarakat yang belum kritis.
Sebagai solusi agar kekerasan simbolik terhadap masyarakat konsumen ini tak berkelanjutan, promovendus berusia 58 tahun kelahiran Tounwawan, Maluku Tenggara, ini antara lain mengusulkan agar asosiasi profesi bisnis iklan, seperti Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), segera menyusun kode etik yang menjadi pegangan untuk melaksanakan bisnis iklan secara jujur dan manusiawi sehingga tak sampai melanggar etika dan merugikan masyarakat.
Asosiasi inilah yang nantinya memonitor praktik bisnis iklan dan memberi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkannya,” papar Peea yang berhasil meraih gelar doctor dengan nilai sangat memuaskan. (MUK)

  • Menurut pendapat saya :
sebelumnya membuat iklan, pasti sudah tau yang menjadi peraturan atau ketetapan perundang-undangan periklanana. Akan tetapi, kenapa masih harus dilanggar oleh pihak pembuat iklan. Dengan mengatakan jika mengonsumsi Sosis sonice pengonsumsi akan menjadi tambah tinggi itu sama saja membohongi calon konsumen pada sosis. Selain itu sudah tercantum pada  EPI BAB IIIA No. 1.2.2 bahwa iklan tidak boleh menggunakan kata-kata "ter, paling" pada iklan TV Shinyoku versi Romy Rafael, akan tetapi masih saja dilanggar padahal itu jelas-jelas sudah terlampir pada undang-undang dan EPI sendiri.
Berarti pihak yang memasang klan belum tau dan belum menguasai undang-undang maupun peraturan yang tercantum pada Etika Pariwara Indonesia (EPI).

Sumber penguat :

Komentar

Postingan Populer